Oleh Nita
Juniati*
Indonesia kini sudah tak asing lagi dengan
kata pewarta atau yang sering kita dengar dengan sebutan wartawan atau bahkan
jurnalis. Tersohornya profesi tersebut hingga dilahirkannya jurnalis-jurnalis
dikalangan mahasiswa bahkan sekolah-sekolah menengah atas maupun sekolah
menengah pertama.
Lingkungan mahasiswa sudah tak asing lagi mendengar pers
mahasiswa, yang selalu gencar dengan pemberitaan-pemberitaan kampus. Bisa jadi
pemberitaan kritikan terhadap kampus, ataupun prestasi-prestasi dari kampus itu
sendiri. Pers mahasiswa menjadi salah satu media untuk menuangkan aspirasi para
mahasiwa lewat media.
Tak
dihiraukan idealisme seorang jurnalis kampus, dengan segala pemberitaan yang
selalu memberikan informasi yang benar sebenar-benarnya tanpa ada pengaruh dari
pihak birokrat kampus. Namun sangat disayangkan kucuran dana pers mahasiswa
datang dari birokrat, yang dapat dengan mudah ketika pers mahasiswa
memberitakan keritikan atau hal yang buruk dapat dengan mudah pemberitaan
tersebut dicekal oleh para birokrat kampus.
Kembali
dipertanyakan idealisme seorang jurnalis yang sebenarnya itu berada dimana? Tak
habis pikir, mengumandangkan dengan semangat “kebebasan pers” namun setelah
berbicara dengan nilai rupiah, seakan semuanya lenyap tak ada arti apapun lagi,
sunyi bagai malam tak bersuara. Kini hanya dapat menyimpulkan dunia jurnalis
yang sebenarnya ada dimana? Ketika menjadi seorang jurnalis di salah satu
media, mau tidak mau atau suka tidak suka seorang jurnalis harus menuruti
segala hal yang diperintahkan oleh pemilik media tersebut.
Begitupun
dengan pers kampus, yang sering disebut-sebut sebagai jurnalis yang benar-benar
mempertahankan idealismenya, nyatanya tak sepenuhnya begitu. Pihak birokrat
masih memantau dan bahkan mengawasi setiap pemberitaan-pemberitaan. Jika kita
kembali merenungkan, fungsi pers itu apa. Seakan semua tidak lagi beracu pada
itu. Fungsi pers seharusnya untuk mengawasi apa-apa yang ada dikampus, bukan
malah sebaliknya. Aneh memang aneh dengan keadaan dunia yang perputarannya
semakin tidak jelas. Semakin tidak jelas untuk membedakan siapa yang salah dan
siapa yang benar, dan lain sebagainya.
Pers
kampus tidak lagi menjadi gudang idealisme, ketika segala sesuatu sudah
ditawarkan termasuk salah satunya beasiswa. Lalu idealisme itu seperti apa, apa
idealisme harus mempertaruhkan harta, tahta, dan martabat bahkan nyawa
sekalipun? Tak banyak mahasiswa yang bertahan dengan kata idealisme, ketika ada
dua hal yang perlu dipertaruhkan, misalnya mencekal pemberitaan atau di Drop
Out (DO).
Kalau
pers mahasiswa saja sudah tak lagi kenal dengan kata idealisme, bagaimana
dengan dunia pers yang cakupannya lebih besar dari kampus. Entah, kini
idealisme apakah masih telanjang atau sudah terpisahkan, dengan tanda kurung
seperti “idea(lisme)”. Namun ya lagi-lagi perlu diperjelas letak dan seperti
apa idealisme itu sendiri, apa itu dijajaran pers mahasiswa atau pers yang
sebenarnnya pers.
Seakan tak berujung membicarakan mengenai idealisme,
jawaban yang paling tepat kembali kepada diri seorang jurnalis itu sendiri.
Tapi bagaimana dengan pemahaman kode etik jurnalistik. Bukan kah itu sebuah
keharusan, memahami dan mematuhi kode etik jurnalistik bagi seorang jurnalis.
Seorang jurnalis harus memahami apa yang seharusnya diketahui seorang jurnalis
dan apa yang diharapkan oleh publik.
Kampus merupakan sebuah miniatur negara,
dimana didalamnya ada meja-meja perpolitikan meja-meja birokrat dan ada pula
masyarakat yang lebih akrab disebut mahasiswa. Sehingga pers mahasiswa pun
tidak berbeda dengan pers yang tegak di Negara Indonesia ini. Acuannya pun
sama, kode etiknya pun sama tidak ada, yang berbeda hanya segmentasinya saja.
Lalu bagaimana seorang jurnalis dapat
memahami betul arti sebuah idealisme seorang jurnalis, jika yang menjadi
dasarnya pun tidak paham. Dipaparkan dalam buku yang ditulis oleh Bill Kovach
dan Tom Rosentiel bahwa jurnalisme hadir untuk membangun masyarakat dan
jurnalisme ada untuk memenuhi hak-hak warga negara, dan bahkan menurutnya
jurnalisme ada untuk demokrasi.
Hal
itu yang perlu sama-sama kita renungi dan pahami, sudah sampai mana perjalanan
mengemban amanah sebagai seorang jurnalis. Bukan sekadar menyediakan informasi
yang dibutuhkan oleh warga atau katakanlah mahasiswa, namun bagaimana pers
mahasiswa dapat menerima informasi, dan mahasiswa dapat merasakan, dapat
tersentuh, dapat membuat mahasiswa bergerak atau bahkan merubah paradigma dari
yang awalnya tak peduli menjadi peduli atas apa yang telah di informasikan.
Produk
dari pers mahasiswa menjadi hal yang di nanti-nanti, karena pers mahasiwa mampu
untuk mengkritisi mampu untuk mengibarkan idealisme. Namun hal itu semakin hari
semakin terkikis dengan sendirinya. Memang melihat realita belum adanya rasa
merdeka, sehingga segala menjadi terbatasi. Pers mahasiswa harus kembali kepada
fungsinya menjaga dan mengontrol jalannya keuasaan, bukan
malah sebaliknya. Pers mahasiswa harus menjadi kontrol sosial, bukan malah
menjadi objek yang dikotrol oleh kekuasaan. Dalam kondisi seperti ini pers
mahasiswa harus “profesinal” dalam pemberitaan dan membentuk kultur intelektual
dikalangan mahasiswa. (*Penulis
adalah Mahasiswa Jurusan Jurnalistik 6C UIN SGD Bandung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar