Senin, 14 Juli 2014

Pers Mahasiswa; Mengawasi Bukan Diawasi


Oleh Nita Juniati* 
Indonesia kini sudah tak asing lagi dengan kata pewarta atau yang sering kita dengar dengan sebutan wartawan atau bahkan jurnalis. Tersohornya profesi tersebut hingga dilahirkannya jurnalis-jurnalis dikalangan mahasiswa bahkan sekolah-sekolah menengah atas maupun sekolah menengah pertama. 

Lingkungan mahasiswa sudah tak asing lagi mendengar pers mahasiswa, yang selalu gencar dengan pemberitaan-pemberitaan kampus. Bisa jadi pemberitaan kritikan terhadap kampus, ataupun prestasi-prestasi dari kampus itu sendiri. Pers mahasiswa menjadi salah satu media untuk menuangkan aspirasi para mahasiwa lewat media.

                Tak dihiraukan idealisme seorang jurnalis kampus, dengan segala pemberitaan yang selalu memberikan informasi yang benar sebenar-benarnya tanpa ada pengaruh dari pihak birokrat kampus. Namun sangat disayangkan kucuran dana pers mahasiswa datang dari birokrat, yang dapat dengan mudah ketika pers mahasiswa memberitakan keritikan atau hal yang buruk dapat dengan mudah pemberitaan tersebut dicekal oleh para birokrat kampus.

                Kembali dipertanyakan idealisme seorang jurnalis yang sebenarnya itu berada dimana? Tak habis pikir, mengumandangkan dengan semangat “kebebasan pers” namun setelah berbicara dengan nilai rupiah, seakan semuanya lenyap tak ada arti apapun lagi, sunyi bagai malam tak bersuara. Kini hanya dapat menyimpulkan dunia jurnalis yang sebenarnya ada dimana? Ketika menjadi seorang jurnalis di salah satu media, mau tidak mau atau suka tidak suka seorang jurnalis harus menuruti segala hal yang diperintahkan oleh pemilik media tersebut.

                Begitupun dengan pers kampus, yang sering disebut-sebut sebagai jurnalis yang benar-benar mempertahankan idealismenya, nyatanya tak sepenuhnya begitu. Pihak birokrat masih memantau dan bahkan mengawasi setiap pemberitaan-pemberitaan. Jika kita kembali merenungkan, fungsi pers itu apa. Seakan semua tidak lagi beracu pada itu. Fungsi pers seharusnya untuk mengawasi apa-apa yang ada dikampus, bukan malah sebaliknya. Aneh memang aneh dengan keadaan dunia yang perputarannya semakin tidak jelas. Semakin tidak jelas untuk membedakan siapa yang salah dan siapa yang benar, dan lain sebagainya.

                Pers kampus tidak lagi menjadi gudang idealisme, ketika segala sesuatu sudah ditawarkan termasuk salah satunya beasiswa. Lalu idealisme itu seperti apa, apa idealisme harus mempertaruhkan harta, tahta, dan martabat bahkan nyawa sekalipun? Tak banyak mahasiswa yang bertahan dengan kata idealisme, ketika ada dua hal yang perlu dipertaruhkan, misalnya mencekal pemberitaan atau di Drop Out (DO).


                Kalau pers mahasiswa saja sudah tak lagi kenal dengan kata idealisme, bagaimana dengan dunia pers yang cakupannya lebih besar dari kampus. Entah, kini idealisme apakah masih telanjang atau sudah terpisahkan, dengan tanda kurung seperti “idea(lisme)”. Namun ya lagi-lagi perlu diperjelas letak dan seperti apa idealisme itu sendiri, apa itu dijajaran pers mahasiswa atau pers yang sebenarnnya pers.

Seakan tak berujung membicarakan mengenai idealisme, jawaban yang paling tepat kembali kepada diri seorang jurnalis itu sendiri. Tapi bagaimana dengan pemahaman kode etik jurnalistik. Bukan kah itu sebuah keharusan, memahami dan mematuhi kode etik jurnalistik bagi seorang jurnalis. Seorang jurnalis harus memahami apa yang seharusnya diketahui seorang jurnalis dan apa yang diharapkan oleh publik. 

Kampus merupakan sebuah miniatur negara, dimana didalamnya ada meja-meja perpolitikan meja-meja birokrat dan ada pula masyarakat yang lebih akrab disebut mahasiswa. Sehingga pers mahasiswa pun tidak berbeda dengan pers yang tegak di Negara Indonesia ini. Acuannya pun sama, kode etiknya pun sama tidak ada, yang berbeda hanya segmentasinya saja.
Lalu bagaimana seorang jurnalis dapat memahami betul arti sebuah idealisme seorang jurnalis, jika yang menjadi dasarnya pun tidak paham. Dipaparkan dalam buku yang ditulis oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiel bahwa jurnalisme hadir untuk membangun masyarakat dan jurnalisme ada untuk memenuhi hak-hak warga negara, dan bahkan menurutnya jurnalisme ada untuk demokrasi.

                Hal itu yang perlu sama-sama kita renungi dan pahami, sudah sampai mana perjalanan mengemban amanah sebagai seorang jurnalis. Bukan sekadar menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh warga atau katakanlah mahasiswa, namun bagaimana pers mahasiswa dapat menerima informasi, dan mahasiswa dapat merasakan, dapat tersentuh, dapat membuat mahasiswa bergerak atau bahkan merubah paradigma dari yang awalnya tak peduli menjadi peduli atas apa yang telah di informasikan.

                Produk dari pers mahasiswa menjadi hal yang di nanti-nanti, karena pers mahasiwa mampu untuk mengkritisi mampu untuk mengibarkan idealisme. Namun hal itu semakin hari semakin terkikis dengan sendirinya. Memang melihat realita belum adanya rasa merdeka, sehingga segala menjadi terbatasi. Pers mahasiswa harus kembali kepada fungsinya menjaga dan mengontrol jalannya keuasaan, bukan malah sebaliknya. Pers mahasiswa harus menjadi kontrol sosial, bukan malah menjadi objek yang dikotrol oleh kekuasaan. Dalam kondisi seperti ini pers mahasiswa harus “profesinal” dalam pemberitaan dan membentuk kultur intelektual dikalangan mahasiswa. (*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Jurnalistik 6C UIN SGD Bandung)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar