Senin, 14 Juli 2014

Cita-cita Jadi Pembantu, Masalah ???


Bermuka cemberut so imut, yang menjijikan itu ya tentu itu aku. Kenalkan Nita Juniati pertengahan 2014, yang semakin Gak Jelas (GJ). Dulu, sewaktu jaman-jaman masih kecil sekitar kelas 2 atau 3 SD aku punya cita-cita yang begitu menarik. "Pembantu" ya.... aku ingin jadi pembantu. Kalau diceritakan, apalasannya dulu aku pengen jadi pembantu huuuu... ceritanya panjang banget. Tapi walaupun sekarang aku masih mahasiswa yang kerjaannya suka nyari berita, suka siaran gak jelas, suka bikin film yang biasa aja, suka nyanyi-nyayian yang biasa juga. Seenggak nya semua itu udah jadi sebuah realita cita-cita aku dulu.

Aku udah membantu orang-orang untuk merasa ditemani, membantu orang-orang untuk mendapatkan informasi, dan lebih penting membantu orang-orang untuk merasakan rasa kesal, marah dan sebagainya atas tingkahku yang GJ ini. Hahahaha .... apalah arti semua gurauan ini. Aku tak akan pernah ada, dan bercerita se GJ ini, Kalau tak ada orang tua yang luar biasa. Mamah dan Papah, anak mu ini ingin selalu memberi yang terbaik untuk kalian.

Surat Untuk Sang Kekasih


Ketika aku pilu aku selalu bercerita sesuka hati. Termasuk menuliskan surat sebagai rasa kesalku kepada salah satu pelajaran sekolah, ketika UN mendapatkan nilai 9,5. Padahal nilai harianku tidak pernah lebih dari 8. Ada keajaiban apa yang datang??? Bukan kah itu suatu tanda tanya besar, untuk aku membenci satu mata pelajaran tersebut. Sehingga ku luncurkan saja satu surat untuk sang kekasih jaman sekolah. (Dokumen : Nita Juniati)

Pers Mahasiswa; Mengawasi Bukan Diawasi


Oleh Nita Juniati* 
Indonesia kini sudah tak asing lagi dengan kata pewarta atau yang sering kita dengar dengan sebutan wartawan atau bahkan jurnalis. Tersohornya profesi tersebut hingga dilahirkannya jurnalis-jurnalis dikalangan mahasiswa bahkan sekolah-sekolah menengah atas maupun sekolah menengah pertama. 

Lingkungan mahasiswa sudah tak asing lagi mendengar pers mahasiswa, yang selalu gencar dengan pemberitaan-pemberitaan kampus. Bisa jadi pemberitaan kritikan terhadap kampus, ataupun prestasi-prestasi dari kampus itu sendiri. Pers mahasiswa menjadi salah satu media untuk menuangkan aspirasi para mahasiwa lewat media.

                Tak dihiraukan idealisme seorang jurnalis kampus, dengan segala pemberitaan yang selalu memberikan informasi yang benar sebenar-benarnya tanpa ada pengaruh dari pihak birokrat kampus. Namun sangat disayangkan kucuran dana pers mahasiswa datang dari birokrat, yang dapat dengan mudah ketika pers mahasiswa memberitakan keritikan atau hal yang buruk dapat dengan mudah pemberitaan tersebut dicekal oleh para birokrat kampus.

                Kembali dipertanyakan idealisme seorang jurnalis yang sebenarnya itu berada dimana? Tak habis pikir, mengumandangkan dengan semangat “kebebasan pers” namun setelah berbicara dengan nilai rupiah, seakan semuanya lenyap tak ada arti apapun lagi, sunyi bagai malam tak bersuara. Kini hanya dapat menyimpulkan dunia jurnalis yang sebenarnya ada dimana? Ketika menjadi seorang jurnalis di salah satu media, mau tidak mau atau suka tidak suka seorang jurnalis harus menuruti segala hal yang diperintahkan oleh pemilik media tersebut.

                Begitupun dengan pers kampus, yang sering disebut-sebut sebagai jurnalis yang benar-benar mempertahankan idealismenya, nyatanya tak sepenuhnya begitu. Pihak birokrat masih memantau dan bahkan mengawasi setiap pemberitaan-pemberitaan. Jika kita kembali merenungkan, fungsi pers itu apa. Seakan semua tidak lagi beracu pada itu. Fungsi pers seharusnya untuk mengawasi apa-apa yang ada dikampus, bukan malah sebaliknya. Aneh memang aneh dengan keadaan dunia yang perputarannya semakin tidak jelas. Semakin tidak jelas untuk membedakan siapa yang salah dan siapa yang benar, dan lain sebagainya.

                Pers kampus tidak lagi menjadi gudang idealisme, ketika segala sesuatu sudah ditawarkan termasuk salah satunya beasiswa. Lalu idealisme itu seperti apa, apa idealisme harus mempertaruhkan harta, tahta, dan martabat bahkan nyawa sekalipun? Tak banyak mahasiswa yang bertahan dengan kata idealisme, ketika ada dua hal yang perlu dipertaruhkan, misalnya mencekal pemberitaan atau di Drop Out (DO).

Kamis, 05 Juni 2014

Peri Kecil

Hai, Peri Kecil seharusnya kau temani aku. Kini aku merasa sendiri, mengapa kau pergi sebelum kau tampakan wajah mu yang cantik. Seharusnya kau tetap disini menari dan bernyanyi bersamaku. Jika masih ada, mungkin kau berada dekat dengan ku. Mencurahkan para parangeran yang menggumi mu.

   Kau, Peri Kecil mahkota ini seharusnya milik mu. Namun kini menjadi abadi di kepalaku. Tidak ada peri-peri lain yang ingin menjadi temanku. Kau tau? kepalaku sudah terlalu lelah mengenakan mahkota ini. Aku ingin melepasnya, memberikan pada keturunanku. Namun, Tuan belum jua mengijinkan ku untuk melepas mahkota ini.

   Peri Kecil, kau tau kan... aku bukan putri atau pun ratu. Aku sama saja seperti manusia-manusia lain. Tapi mengapa aku merasa dibebani dengan mahkota ini. Seakan gerak-gerik ku tak lepas dari perhatian. Kesalahan sekecil apapun, selalu menjadi teguran besar. Peri Kecil, tetaplah bercahaya. Tak lama, mungkin aku akan segera menemani mu disana. Akan ku ceritakan lebih jelas tentang mahkota ini padamu.

   Sebelum aku datang ke tempat mu, kau harus berkenalan dengan peri kecil lain yang sama dengan mu disana. Mungkin kau sudah kenal dia sebelum ku perintahkan, dia pun peri kecil yang manis seperti mu. Kau tau? dia peri kecil pujaan ku. Aku pun hanya mengenalnya lewat tulisan seorang pangeran, yang slalu menggambarkan sesosok peri kecil yang manis itu. Membaca tulisan pangeran itu, aku rindu pada mu peri kecil.

   Tolong bisikan, pada peri kecil manis teman mu itu, aku ingin berkenalan dengannya. Jika sempat, kelak aku menemui mu kau kenalkan aku padanya ya peri kecil. Nanti akan ku ceritakan juga kisah pangeran yang selalu menggambarkan peri kecil manis itu.